Rabu, 27 Maret 2013

"COGITO ERGO SUM" (TEORI IDE KESEMPURNAAN)

Memberikan kesadaran pada diri atas keterbatasan diri dan ketidaksempurnaan keberadaan. Ini membuktikan bahwa aku tidak memberikan eksistensi pada diriku sendiri, aku telah menyerahkan diriku pada sifat sempurna yang tidak kumiliki, dimana menjadi subyek yang diragukan.

"Aku memiliki ide kesempurnaan: jika aku tidak memilikinya, aku tidak akan pernah tahu bahwa aku tidak sempurna". Darimana datangnya ide kesempurnaan itu? Tidak dari diriku sendiri, karena aku tidak sempurna dan kesempurnaan tidak datang dari yang tidak sempurna.

"Jadi datangnya dari sesuatu yang sempurna, yaitu Tuhan". Analisis dari ide kesempurnaan melibatkan eksistensi dari keberadaan yang sempurna, bagai sebuah lembah yang termasuk ide sebuah gunung, maka eksistensi termasuk dalam ide kesempurnaan tersebut.



NB:
Coba renungi maksudnya!
- Apa inti keraguan?
- Apa inti eksistensi?
- Apa inti kesempurnaan dan ketidaksempurnaan?
- Dan yg terakhir Maha keberadaan = Maha Ketidakberadaan, apa intinya?

Oleh:Cak Bud.

Selasa, 26 Maret 2013

1. SEJARAH DAN RIWAYAT HIDUP PENDIRI PERISAI DIRI

SEJARAH PERISAI DIRI



Perisai Diri adalah sebuah organisasi kekeluargaan silat yang resmi didirikan dan memperkenalkan diri pada tgl 2 Juli thn 1955 di kota Surabaya, oleh Raden Mas Soebandiman Dirdjoatmodjo. Karena sistem pengajaran serta teknik – tekniknya yang sangat praktis dan mudah diterima oleh masyarakat, maka organisasi ini dengan cepat sekali berkembang pesat di Surabaya, dan karena kepopulerannya, masyarakat memberi sebutan yang lebih mudah dan lebih akrab “Pe – De”, yang merupakan inisial atau singkatan dari “PERISAI DIRI”, bahkan inisial dari Pak DIRDJO. Malahan pada masa – masa awalnya (thn 1955 – 1960), P.D. sering dikonotasikan sebagai Pak Dirdjo (Pak De).
Nama PERISAI DIRI, sesungguhnya tidak dimaksudkan oleh pendirinya sebagai suatu “aliran”, namun hanya sebagai fungsi dan hakekat cara untuk melindungi diri. Demikian pula dengan penggunaan istilah “Silat Nasional”, merupakan ungkapan cita – cita luhur dari Bapak Dirdjoatmodjo akan terciptanya suatu bentuk Silat / Bela – diri Indonesia yang khas dan beridentitas nasional disuatu saat, entah dengan nama apa kelak.
Oleh karena di dalam perkembangannya PERISAI DIRI telah meluas keberbagai daerah dan menjadi sebuah keluarga besar, maka untuk selanjutnya, organisasi ini menyesuaikan diri dengan nama :

“ KELUARGA SILAT NASIONAL INDONESIA PERISAI DIRI “
Dengan pusat kedudukan organisasi silat yang terbesar sampai saat ini di Indonesia


RIWAYAT HIDUP
R.M. Soebandiman Dirdjoatmodjo

 

            Berbicara mengenai sejarah KELUARGA SILAT NASIONAL PERISAI DIRI tentu tidak akan lepas dari riwayat hidup pendirinya sendiri, Bapak Raden Mas Soebandiman Dirdjoatmodjo, karena tanpa pendiri dan tanpa bimbingan beliau, Perisai Diri dengan perkembangannya seperti sekarang tidak akan pernah ada. R.M.S Dirdjoatmodjo lahir pada tgl 8 Januari 1913, tahun Jawa Alip, di kota Yogyakarta. Ayahnya adalah Raden Pakoe Soedirdjo dari keluarga Pakoe Alaman – an.
Sesungguhnya orangtuanya menginginkannya untuk menjadi guru. Karena pada saat itu guru adalah profesi yang sangat terhormat. Namun sejarah ternyata menghendaki lain, Soebandiman kecil ternyata memiliki bakat terpendam yang terlihat dari minatnya mengamati kegiatan orang keprajuritan. Ini terlihat dari peristiwa seperti berikut, misalnya :
            Pada masa itu, untuk memberi pelajaran tentang olah keprajuritan dan kanuragan bagi putra dilingkungan kraton Pakoe Alaman, secara berkala didatangkan seorang ahli Pencak Silat dari Solo. Namun karena usianya yang masih sangat muda, yaitu 9 tahun, Soebandiman belum diperkenankan untuk ikut belajar silat.
Tapi karena keinginannya yang sangat kuat memaksanya mengintip dengan sembunyi – sembunyi setiap pelajaran dan latihan berlangsung. Yang mengejutkan adalah, apa yang dilihat dan didengarnya tersebut dicoba dipraktekkan, dan ternyata ia mampu melakukannya dengan baik sekali.
Sehingga untuk menyalurkan semangatnya, secara sembunyi – sembunyi pula ia menyelinap keluar tembok kraton, mengumpulkan anak – anak kampung sebanyaknya dan ia memberinya latihan silat seperti apa yang telah dilihatnya. Demikianlah, dalam usia 9 thn Soebandiman telah menjadi “guru kecil”. Kegiatan itu terus berlangsung dan ini akhirnya membawa akibat, karena keluar dari tembok keraton dan bermain dengan anak kampung, apa lagi ketahuan pula mengajari silat, ia mulai kurang disenangi dilingkungan keluarga keraton, mengingat pada masa itu ada pemikiran foedal yang sangat kuat.
Ketidak senangan ini makin lama makin menghimpit perasaannya, sehingga akhirnya setelah melalui pergulatan batin, ia memutuskan untuk pergi mengembara dlam usia yang masih sangat remaja, hal seperti ini tentu membutuhkan tekad yang sangat besar selain keberanian untuk hidup mandiri dan menderita. Dan keputusan itu telah merubah sejarah hidupnya.
Ini bukan tidak didasarinya, oleh karena yang menjadi pendorong semangatnya, ia seakan – akan merasa terpanggil dan terbimbing oleh kekuatan Agung, untuk mengemban amanat mengabdikan hidupnya bagi pengembangan silat, entah dengan cara yang bagaimana. Dengan tekad baja dan semangat bangteng di sertai rasa ingin tahunya yang sangat besar dan hanya dibekali pengetahuan bangku sekolah HIK (SGA pda jaman Belanda) yang sempat diselesaikannya maka dimulailah masa pengembangannya ( + thn 1929 ).
Ayunan langkahnya membawanya sampai kedaerah Jombang (JATIM) + 400 km dari Jogja, sebagai tujuannya yang pertama. Mengapa kota Jombang ? Karena rupanya pada masa itu Jombang sangat terkenal sebagai tempat yang banyak didatangi orang untuk belajar suatu ilmu.
Dicarinya guru silat yang amat terkenal disana pada masa itu yaitu Bapak KYAI HASAN BASRI, untuk berguru, direguknya semua pelajaran gurunya dengan baik, dan sang guru menilainya sebagai murid yang sangat berbakat. Namun yang agak mengejutkan sang guru adalah, bahwa si murid ini ternyata berani mengeritik dan memberi pandangan – pandangan meskipun dengan caraya yang halus.
Mengingat hal semacam itu adalah tabu di masa itu. Namun dipihak lain sang guru dapat menerima dan membenarkan pendapat si – murid ini. Hal ini membuat rasa percaya diri, pada pemuda Soebandiman semakin besar, karena kemampuan analisa obyektifnya telah terbukti.
Kemampuan ini pula yang membuatnya melihat kekurangan – kekurangan dari teknik silat yang didapatnya di Jogja dulu, yang mendorongnya untuk melihat dan mempelajari lebih banyak lagi.

Menyadari perlunya adanya mempelajari aspek – aspek yang lain dari pencak silat seperti kewajiban dan kerohanian, maka Soebandiman slama di Jombang belajar pula di Pondok TEBU -IRENG sebuah pondok pesantren besar yang sangat terkenal telah menghasilkan ulama – ulama terkemuka.
Selama masa itu kebutuhan hidup sehari – harinya didapatnya dengan bekerja pada pabrik gula Peterongan berbekal 1 ijasah HIKnya. Setelah merasa cukup apa yang bisa didapatnya di Jombang, ditinggalkannya Jombang, dan yang ditujunya kemudian adalah Solo. Di Solo ia berguru pada guru silat yang terkenal di kalangan kraton yaitu HAJI SAYID SAHAB.
Solo dipilihnya karena kebetulan eyangnya KI JOGOSURASMO juga tinggal di kota itu. Eyangnya tersebut juga adalah seorang ahli Jaya Kawjayan dan Kanuragan dan tinggi ilmunya. Maka disini pula Soebandiman digembleng fisik dan mentalnya segala macam laku tirakat telah di lakukannya dengan baik, seperti, puasa, tapa brata, kumkum (berendam selama puluhan hari di bengawan dan sebagainya).
Diyakininya dengan benar – benar pepatah Jawa yang mengatakan bahwa ilmu itu seraya bisa diperoleh dengan sarana “Laku”. Ibarat sebuah barang berharga, makin tinggi nilainya makin mahal pula harga penebusan untuk memperolehnya.
Selain bertambahnya ilmu silat, berbagai pengalaman baru disegi kejiwaan dan supra normal juga telah dialaminya, namun itu semuanya masih dirasa belum cukup, dan diteruskannya pengembaraannya.
Tujuannya berikutnya adalah kota Semarang, disini ia berguru pada Bapak SOEGITO, seorang ahli silat dari aliran SETIA SAUDARA (S.S). setelah cukup berguru disiniKUNINGAN, CIREBON, umtuk berguru lagi.
Tekad baja semangat banteng, rasa ingin tahunya yang sangat besar, rasa terpanggil dan terpilih untuk mengabdikan hidupnya pada ilmu silat telah membawanya lebih lanjut keseluruh pelosok daerah Jawa Barat, untuk terus berguru dan menimba ilmu serta pengalaman dari para jawara setempat.
Sejauh itu pula telah 12 ahli silat yang telah direguk ilmunya, berarti telah 12 aliran pula sedikitnya telah ia pelajari, namun bisikan hatinya mengatakan bahwa bekal yang dimilikinya masih belum cukup. Berarti masih harus dicarinya lagi bekal ilmu yang lain, padahal menurut pikirannya telah habis tokoh dan ahli silat terkenal yang pantas untuk tempat berguru lagi.
Dan disinlah tangan Tuhan akhirnya membawanya lagi untuk mengembara ke daerah Banyumas, disini Soebandiman muda mencoba untuk menetap dan mengendapkan segala ilmu yang telah diperoleh dan dipelajarinya.

Di dalam teknik silat dengan kemampuan daya analisa dan kreasinya di cobanya untuk mengambil intisari teknik – teknik yang baik dan efektif, dicobanya untuk merangkainya dengan pola yang lebih baik dan lebih praktis, namun masih saja terasa adanya kekurangan – kekurangan terutama dalam segi kecepatan, kesigapan, dan kesederhanaan gerakannya.
Di dalam segi kejiwaan dan kerohanian yang terkandung di dalamnya segi olah kanuragan dan jaya kawijayan, dalam pengendapan ini telah membawanya pada kemantapan jiwa di dalam usianya yang masih muda.
Di kota inilah untuk yang pertama kalinya Soebandiman muda mencoba untuk membuka perguruan sendiri dengan nama EKO KALBU (EKA), yang merupakan ungkapan rasa kemantapan jiwa, sebagai luapan rasa bahagianya atas keberhasilannya mendapat ilmu (Se) Jati, dari karuna Tuhan atas segala gemblengan lahir batin yang telah dijalaninya selama ini.
Namun justru dimasa itulah bimbingan gaib seolah mengatakan bahwa masih satu guru lagi yang masih harus ditimba lagi ilmunya. Petunjuk itu akhirnya mempertemukannya dengan seorang tokoh ahli silat dari daerah negeri Cina, tepatnya di daerah PARAKAN. Ahli silat tersebut bernama YAP KIE SAN, yang didaratan Cina yang terkenal dengan julukan LO JING TIE, (Si Beruang Tua). Tokoh ini adalah ahli waris dari SIAUW LIM SIE yang menyingkir dari kerusuhan PERANG BOXER di daratan Cina pada masa lalu.
Dengan kematangan jiwa dan perasaan yang telah dimilikinya, Soebandiman dapat menyingkirkan pikiran dangkal dan emosional yang mungkin bisa saja timbul mengingat bahwa ia harus menimba ilmu dari seorang keturunan Cina.
Namun berpegang pada firasat sesuai petunjuk serta sadar bahwa semua ilmu adalah anugerah bagi umat manusia, dan untuk mempelajarinya tidak perlu memandang bangsa dan usia, maka bangkitlah tekad dan niat untuk berguru pada Suhu (guru) YAP KIE SAN. Suhu ini karena alasan – alasannya tersendiri sifatnya sangat tertutup dan seperti menyembunyikan diri.
Cara bagaimana Soebandiman dapat diterima menjadi muridnya yang baik. Suhu Yap ini mempunyai kegemaran mengadu ayam jago. Rupanya melalui kegemarannya inilah Soebandiman mencoba untuk menarik perhatian Suhu Yap.
Singkatnya, Soebandiman berhasil memperoleh jago aduan yang sehat di dalam suatu aduan ayam, ayam Suhu Yap kalah. Dan sepertinya Suhu Yap tertarik pada ayam Soebandiman dan berniat untuk membelinya. Disinilah siasat Soebandiman muda dijalankan. Oleh Soebandiman dijawab, bahwa ayam itu dapat diberikan dengan syarat yaitu Suhu Yap mamu memberi pelajaran silat. Tetapi Suhu Yap tidak menjawab, dan terus pergi pulang.
Soebandiman terus mengikutinya sampai kerumahnya dipinggiran kota. Melihat bahwa Suhu Yap tinggal seorang diri, maka Soebandiman memutuskan untuk tinggal dirumah Suhu Yap dan membantu pekerjaan sehari – harinya. Selama 3 bulan melayani, sama sekali Soebandiman tidak diacuhkannya, bahkan ditegurpun tidak. Seolah – olah kehadirannya dianggap tidak ada. Tiap kali bangun tidurpun, Soebandiman yang tidurnya didepan pintupun hanya dilangkahinya saja.
Dan setiap kali Soebandiman memberanikan diri untuk bertanya tentang belajar silat, dijawabnya selalu : “Apa?, Silat?, Jangan nanti sakit!!”.
Betapa berat beban mental yang harus dialaminya tak dapat kita bayangkan. Namun, mengingat bahwa mungkin ini adalah sebuah ujian yang diberikan padanya untuk melihat ketabahan hatinya maka dikuatkanlah hatinya.
Setalah lewat satu bulan lagi, ketika Soebandiman mengikuti Suhu Yap memancing, dikemukakannya lagi keinginannya untuk belajar ilmu silat, dengan segala resikonya. Barangkali setelah Suhu Yap menimbang bahwa ketabahan Soebandiman ini telah cukup diuji, akhirnya Soebandimanpun diterimanya sebagai murid.
Soebandiman langsung diajaknya untuk pulang, dan langsung pula diberi pelajaran pertama. Pelajaran pertama itu yaitu, ia dibawa masuk kesebuah kandang ayam dan disitu ia diberi contoh sikap kuda – kuda. Suhu Yap hanya menunjukkan contoh sambil berkata “ini namanya “bhesi” (kuda – kuda)”, Soebandimanpun harus terus bersikap sampai Suhu Yap kembali lagi. Dan itu bisa sampai sehari suntuk.
Saat lain ia harus melatih gerak langkah bolak – balik di kandang itu juga. Setiap kali ia merasa capek dan mencoba untuk berhenti sebentar, selalu tiba – tiba saja Suhu Yap muncul dan marah – marah harus diulang lagi. Tidaklah salah bahwa ketika Soebandiman minta untuk diberi pelajaran silat selalu dijawabnya dengan : “Jangan nanti sakit”.
Memang, dengan tekad baja, ketabahan yang luar biasa, dan daya tahan yang prima, latihan – latihan yang diberikannya padanya dapat dijalankan dengan baik. Itulah sebagian gambaran betapa berat latihan fisik dan mental yang harus dijalaninya dalam menjadi murid Suhu Yap Kie San.
Suhu Yap sendiri, melihat adanya bakat – bakat yang terpendam yang dimiliki Soebandiman, menjadi timbul rasa sayangnya dan berkenan menurunkan seluruh ilmunya, sudah tentu dengan latihan yang makin berat dari yang menuntut ketekunan total dan ini memakan waktu sampai 14 tahun.
Sebagai murid Suhu Yap inilah paling lama Soebandiman berguru. Setelah menamatkan seluruh pelajarannya, Soebandiman selanjutnya berkelana kesana – kemari dengan berbagai pengalaman dan berbagai peristiwa yang makin menambah matang ilmu – ilmunya, namun kiranya tidak pertlu dikisahkan lebih lanjut disini.
Setelah merasa bahwa apa yang dipelajarinya telah cukup sebagai bekal untuk mewujudkan cita – citanya, mulailah ia menyusun kembali segala teknik silat yang pernah dipelajarinya.
Mendasari pada pengalamannya sendiri yang sedemikian berat dan kerasnya dalam mempelajari ilmu silat, dan menyadari bahwa dalam generasi berikutnya nanti amatlah tidak mungkin menerapkan cara – cara belajar silat seperti apa yang pernah dijalaninya, maka diciptakannya suatu teknik silat baru, yang merupakan gabungan dari teknik – teknik yang pernah dipelajarinya, dengan dasar pemikiran bagaimana belajar silat tanpa rasa sakit.
Dan lahirlah teknik silat PERISAI DIRI, dengan diri yang praktis, anatomis, sederhana namun sangat efektif serta modern, sesuai dengan kebutuhan jaman. Hal tersebut dilakukannya setelah puas malang – melintang di berbagai tempat serta peristiwa dan akhirnya kembali ke Yogyakarta.
Oleh Pak – De – nya (Uwaknya) yaitu Ki Hajar Dewantara, R.M.S Dirdjoatmodjo diminta untuk mengajar silat di Taman Siswa. Namun ini tidak berlangsung lama sehubungan dengan pekerjaannya dipabrik gula. Disana ia diangkat sebagai magazijn meester.
Pada sekitar thn1947 – 1948 beliau diangkat sebagai pegawai negeri pada departemen P&K Seksi Silat. Sesuai misi diembannya, maka dibukalah kursus silat, melalui dinas untuk umum. Selain itu pada masa tersebut beliau diminta untuk memberi pelajaran di organisasi HPPSI serta Himpunan Siswa Budaya Yogjakarta.
Tahun 1954, R.M.S. Dirdjoatmodjo dipindah tugaskan ke Surabaya pada kantor Kebudayaan Jatim urusan Pencak Silat sebagai warisan budaya bangsa. Di kota Surabaya inilah akhirnya R.M.S Dirdjoatmodjo menetap dan kemudian mendirikan “Silat Nasional Perisai Diri”, yaitu tepatnya pada tgl 2 Juli 1955, dengan dibantu oleh Sdr. Imam Ramelan. Pada tahun 1970 beliau pensiun dan selanjutnya menjabat sebagai Penasehat IPSI Jatim & Sesepuh PB IPSI di Jakarta.
Pencak dalam bentuk olahraga yang dipertandingkan dalam PON seperti sekarang ini adalah salah satu hasil dari perjuangan beliau.
Pendiri, Guru, Pengasuh Keluarga Silat Nasional Indonesia PERISAI DIRI ini telah berpulang pada dinihari tgl 9 Mei 1983 (pada usia 70 thn) di Surabaya, dengan meninggalkan warisan yang tak ternilai harganya yaitu Silat serta organisasi PERISAI DIRI yang telah menjadi milik bangsa pula.
Semoga melalui warisan yang ditinggalkannya ini, cita – cita beliau untuk mengembangkan Silat Nasional Indonesia dapat terus diperjuangkan hingga terwujud seperti apa yang diharapkannya. Amin.

Demikian ringkasan sejarah dan riwayat pendiri serta pengasuh



 
“KELUARGA SILAT NASIONAL PERISAI DIRI”