SEJARAH PERISAI DIRI
Perisai
Diri adalah sebuah organisasi kekeluargaan silat yang resmi didirikan dan
memperkenalkan diri pada tgl 2 Juli thn 1955 di kota Surabaya, oleh Raden Mas
Soebandiman Dirdjoatmodjo. Karena sistem pengajaran serta teknik – tekniknya
yang sangat praktis dan mudah diterima oleh masyarakat, maka organisasi ini
dengan cepat sekali berkembang pesat di Surabaya, dan karena kepopulerannya,
masyarakat memberi sebutan yang lebih mudah dan lebih akrab “Pe – De”, yang
merupakan inisial atau singkatan dari “PERISAI DIRI”, bahkan inisial dari Pak
DIRDJO. Malahan pada masa – masa awalnya (thn 1955 – 1960), P.D. sering
dikonotasikan sebagai Pak Dirdjo (Pak De).
Nama
PERISAI DIRI, sesungguhnya tidak dimaksudkan oleh pendirinya sebagai suatu
“aliran”, namun hanya sebagai fungsi dan hakekat cara untuk melindungi diri.
Demikian pula dengan penggunaan istilah “Silat Nasional”, merupakan ungkapan
cita – cita luhur dari Bapak Dirdjoatmodjo akan terciptanya suatu bentuk Silat
/ Bela – diri Indonesia yang khas dan beridentitas nasional disuatu saat, entah
dengan nama apa kelak.
Oleh karena di dalam
perkembangannya PERISAI DIRI telah meluas keberbagai daerah dan menjadi sebuah
keluarga besar, maka untuk selanjutnya, organisasi ini menyesuaikan diri dengan
nama :
“
KELUARGA SILAT NASIONAL INDONESIA PERISAI DIRI “
Dengan
pusat kedudukan organisasi silat yang terbesar sampai saat ini di Indonesia
RIWAYAT
HIDUP
R.M. Soebandiman Dirdjoatmodjo
R.M. Soebandiman Dirdjoatmodjo
Berbicara mengenai sejarah KELUARGA SILAT NASIONAL
PERISAI DIRI tentu tidak akan lepas dari riwayat hidup pendirinya sendiri,
Bapak Raden Mas Soebandiman Dirdjoatmodjo, karena tanpa pendiri dan tanpa
bimbingan beliau, Perisai Diri dengan perkembangannya seperti sekarang tidak
akan pernah ada. R.M.S Dirdjoatmodjo lahir pada tgl 8 Januari 1913, tahun Jawa
Alip, di kota Yogyakarta. Ayahnya adalah Raden Pakoe Soedirdjo dari keluarga
Pakoe Alaman – an.
Sesungguhnya
orangtuanya menginginkannya untuk menjadi guru. Karena pada saat itu guru
adalah profesi yang sangat terhormat. Namun sejarah ternyata menghendaki lain,
Soebandiman kecil ternyata memiliki bakat terpendam yang terlihat dari minatnya
mengamati kegiatan orang keprajuritan. Ini terlihat dari peristiwa seperti
berikut, misalnya :
Pada masa itu, untuk memberi pelajaran tentang olah
keprajuritan dan kanuragan bagi putra dilingkungan kraton Pakoe Alaman, secara
berkala didatangkan seorang ahli Pencak Silat dari Solo. Namun karena usianya
yang masih sangat muda, yaitu 9 tahun, Soebandiman belum diperkenankan untuk
ikut belajar silat.
Tapi
karena keinginannya yang sangat kuat memaksanya mengintip dengan sembunyi –
sembunyi setiap pelajaran dan latihan berlangsung. Yang mengejutkan adalah, apa
yang dilihat dan didengarnya tersebut dicoba dipraktekkan, dan ternyata ia
mampu melakukannya dengan baik sekali.
Sehingga
untuk menyalurkan semangatnya, secara sembunyi – sembunyi pula ia menyelinap
keluar tembok kraton, mengumpulkan anak – anak kampung sebanyaknya dan ia
memberinya latihan silat seperti apa yang telah dilihatnya. Demikianlah, dalam
usia 9 thn Soebandiman telah menjadi “guru kecil”. Kegiatan itu terus
berlangsung dan ini akhirnya membawa akibat, karena keluar dari tembok keraton
dan bermain dengan anak kampung, apa lagi ketahuan pula mengajari silat, ia
mulai kurang disenangi dilingkungan keluarga keraton, mengingat pada masa itu
ada pemikiran foedal yang sangat kuat.
Ketidak
senangan ini makin lama makin menghimpit perasaannya, sehingga akhirnya setelah
melalui pergulatan batin, ia memutuskan untuk pergi mengembara dlam usia yang
masih sangat remaja, hal seperti ini tentu membutuhkan tekad yang sangat besar
selain keberanian untuk hidup mandiri dan menderita. Dan keputusan itu telah
merubah sejarah hidupnya.
Ini
bukan tidak didasarinya, oleh karena yang menjadi pendorong semangatnya, ia
seakan – akan merasa terpanggil dan terbimbing oleh kekuatan Agung, untuk
mengemban amanat mengabdikan hidupnya bagi pengembangan silat, entah dengan
cara yang bagaimana. Dengan tekad baja dan semangat bangteng di sertai rasa
ingin tahunya yang sangat besar dan hanya dibekali pengetahuan bangku sekolah
HIK (SGA pda jaman Belanda) yang sempat diselesaikannya maka dimulailah masa
pengembangannya ( + thn 1929 ).
Ayunan
langkahnya membawanya sampai kedaerah Jombang (JATIM) + 400 km dari
Jogja, sebagai tujuannya yang pertama. Mengapa kota Jombang ? Karena rupanya
pada masa itu Jombang sangat terkenal sebagai tempat yang banyak didatangi
orang untuk belajar suatu ilmu.
Dicarinya
guru silat yang amat terkenal disana pada masa itu yaitu Bapak KYAI HASAN
BASRI, untuk berguru, direguknya semua pelajaran gurunya dengan baik, dan
sang guru menilainya sebagai murid yang sangat berbakat. Namun yang agak
mengejutkan sang guru adalah, bahwa si murid ini ternyata berani mengeritik dan
memberi pandangan – pandangan meskipun dengan caraya yang halus.
Mengingat
hal semacam itu adalah tabu di masa itu. Namun dipihak lain sang guru dapat
menerima dan membenarkan pendapat si – murid ini. Hal ini membuat rasa percaya
diri, pada pemuda Soebandiman semakin besar, karena kemampuan analisa
obyektifnya telah terbukti.
Kemampuan
ini pula yang membuatnya melihat kekurangan – kekurangan dari teknik silat yang
didapatnya di Jogja dulu, yang mendorongnya untuk melihat dan mempelajari lebih
banyak lagi.
Menyadari
perlunya adanya mempelajari aspek – aspek yang lain dari pencak silat seperti kewajiban
dan kerohanian, maka Soebandiman slama di Jombang belajar pula di Pondok TEBU
-IRENG sebuah pondok pesantren besar yang sangat terkenal telah
menghasilkan ulama – ulama terkemuka.
Selama
masa itu kebutuhan hidup sehari – harinya didapatnya dengan bekerja pada pabrik
gula Peterongan berbekal 1 ijasah HIKnya. Setelah merasa cukup apa yang bisa
didapatnya di Jombang, ditinggalkannya Jombang, dan yang ditujunya kemudian
adalah Solo. Di Solo ia berguru pada guru silat yang terkenal di kalangan
kraton yaitu HAJI SAYID SAHAB.
Solo
dipilihnya karena kebetulan eyangnya KI JOGOSURASMO juga tinggal di kota
itu. Eyangnya tersebut juga adalah seorang ahli Jaya Kawjayan dan Kanuragan dan
tinggi ilmunya. Maka disini pula Soebandiman digembleng fisik dan mentalnya
segala macam laku tirakat telah di lakukannya dengan baik, seperti, puasa, tapa
brata, kumkum (berendam selama puluhan hari di bengawan dan sebagainya).
Diyakininya
dengan benar – benar pepatah Jawa yang mengatakan bahwa ilmu itu seraya bisa
diperoleh dengan sarana “Laku”.
Ibarat sebuah barang berharga, makin tinggi nilainya makin mahal pula harga
penebusan untuk memperolehnya.
Selain
bertambahnya ilmu silat, berbagai pengalaman baru disegi kejiwaan dan supra
normal juga telah dialaminya, namun itu semuanya masih dirasa belum cukup, dan
diteruskannya pengembaraannya.
Tujuannya
berikutnya adalah kota Semarang, disini ia berguru pada Bapak SOEGITO, seorang
ahli silat dari aliran SETIA SAUDARA (S.S). setelah cukup berguru disiniKUNINGAN, CIREBON, umtuk
berguru lagi.
Tekad
baja semangat banteng, rasa ingin tahunya yang sangat besar, rasa terpanggil
dan terpilih untuk mengabdikan hidupnya pada ilmu silat telah membawanya lebih
lanjut keseluruh pelosok daerah Jawa Barat, untuk terus berguru dan menimba
ilmu serta pengalaman dari para jawara setempat.
Sejauh
itu pula telah 12 ahli silat yang telah direguk ilmunya, berarti telah 12
aliran pula sedikitnya telah ia pelajari, namun bisikan hatinya mengatakan
bahwa bekal yang dimilikinya masih belum cukup. Berarti masih harus dicarinya
lagi bekal ilmu yang lain, padahal menurut pikirannya telah habis tokoh dan
ahli silat terkenal yang pantas untuk tempat berguru lagi.
Dan
disinlah tangan Tuhan akhirnya membawanya lagi untuk mengembara ke daerah
Banyumas, disini Soebandiman muda mencoba untuk menetap dan mengendapkan segala
ilmu yang telah diperoleh dan dipelajarinya.
Di
dalam teknik silat dengan kemampuan daya analisa dan kreasinya di cobanya untuk
mengambil intisari teknik – teknik yang baik dan efektif, dicobanya untuk
merangkainya dengan pola yang lebih baik dan lebih praktis, namun masih saja
terasa adanya kekurangan – kekurangan terutama dalam segi kecepatan, kesigapan,
dan kesederhanaan gerakannya.
Di
dalam segi kejiwaan dan kerohanian yang terkandung di dalamnya segi olah
kanuragan dan jaya kawijayan, dalam pengendapan ini telah membawanya pada
kemantapan jiwa di dalam usianya yang masih muda.
Di
kota inilah untuk yang pertama kalinya Soebandiman muda mencoba untuk membuka
perguruan sendiri dengan nama EKO KALBU (EKA), yang merupakan ungkapan rasa
kemantapan jiwa, sebagai luapan rasa bahagianya atas keberhasilannya mendapat
ilmu (Se) Jati, dari karuna Tuhan atas segala gemblengan lahir batin yang telah
dijalaninya selama ini.
Namun
justru dimasa itulah bimbingan gaib seolah mengatakan bahwa masih satu guru
lagi yang masih harus ditimba lagi ilmunya. Petunjuk itu akhirnya
mempertemukannya dengan seorang tokoh ahli silat dari daerah negeri Cina,
tepatnya di daerah PARAKAN. Ahli silat tersebut bernama YAP KIE SAN, yang didaratan Cina yang terkenal dengan
julukan LO JING TIE, (Si
Beruang Tua). Tokoh ini adalah ahli waris dari SIAUW LIM SIE yang menyingkir dari kerusuhan PERANG BOXER di daratan Cina pada masa
lalu.
Dengan
kematangan jiwa dan perasaan yang telah dimilikinya, Soebandiman dapat
menyingkirkan pikiran dangkal dan emosional yang mungkin bisa saja timbul
mengingat bahwa ia harus menimba ilmu dari seorang keturunan Cina.
Namun
berpegang pada firasat sesuai petunjuk serta sadar bahwa semua ilmu adalah
anugerah bagi umat manusia, dan untuk mempelajarinya tidak perlu memandang
bangsa dan usia, maka bangkitlah tekad dan niat untuk berguru pada Suhu (guru) YAP
KIE SAN. Suhu ini karena alasan – alasannya tersendiri sifatnya sangat
tertutup dan seperti menyembunyikan diri.
Cara
bagaimana Soebandiman dapat diterima menjadi muridnya yang baik. Suhu Yap ini
mempunyai kegemaran mengadu ayam jago. Rupanya melalui kegemarannya inilah
Soebandiman mencoba untuk menarik perhatian Suhu Yap.
Singkatnya,
Soebandiman berhasil memperoleh jago aduan yang sehat di dalam suatu aduan
ayam, ayam Suhu Yap kalah. Dan sepertinya Suhu Yap tertarik pada ayam
Soebandiman dan berniat untuk membelinya. Disinilah siasat Soebandiman muda
dijalankan. Oleh Soebandiman dijawab, bahwa ayam itu dapat diberikan dengan
syarat yaitu Suhu Yap mamu memberi pelajaran silat. Tetapi Suhu Yap tidak
menjawab, dan terus pergi pulang.
Soebandiman
terus mengikutinya sampai kerumahnya dipinggiran kota. Melihat bahwa Suhu Yap
tinggal seorang diri, maka Soebandiman memutuskan untuk tinggal dirumah Suhu
Yap dan membantu pekerjaan sehari – harinya. Selama 3 bulan melayani, sama
sekali Soebandiman tidak diacuhkannya, bahkan ditegurpun tidak. Seolah – olah
kehadirannya dianggap tidak ada. Tiap kali bangun tidurpun, Soebandiman yang
tidurnya didepan pintupun hanya dilangkahinya saja.
Dan
setiap kali Soebandiman memberanikan diri untuk bertanya tentang belajar silat,
dijawabnya selalu : “Apa?, Silat?, Jangan nanti sakit!!”.
Betapa
berat beban mental yang harus dialaminya tak dapat kita bayangkan. Namun,
mengingat bahwa mungkin ini adalah sebuah ujian yang diberikan padanya untuk
melihat ketabahan hatinya maka dikuatkanlah hatinya.
Setalah
lewat satu bulan lagi, ketika Soebandiman mengikuti Suhu Yap memancing, dikemukakannya
lagi keinginannya untuk belajar ilmu silat, dengan segala resikonya. Barangkali
setelah Suhu Yap menimbang bahwa ketabahan Soebandiman ini telah cukup diuji,
akhirnya Soebandimanpun diterimanya sebagai murid.
Soebandiman
langsung diajaknya untuk pulang, dan langsung pula diberi pelajaran pertama.
Pelajaran pertama itu yaitu, ia dibawa masuk kesebuah kandang ayam dan disitu
ia diberi contoh sikap kuda – kuda. Suhu Yap hanya menunjukkan contoh sambil
berkata “ini namanya “bhesi” (kuda – kuda)”, Soebandimanpun harus terus
bersikap sampai Suhu Yap kembali lagi. Dan itu bisa sampai sehari suntuk.
Saat
lain ia harus melatih gerak langkah bolak – balik di kandang itu juga. Setiap
kali ia merasa capek dan mencoba untuk berhenti sebentar, selalu tiba – tiba
saja Suhu Yap muncul dan marah – marah harus diulang lagi. Tidaklah salah bahwa
ketika Soebandiman minta untuk diberi pelajaran silat selalu dijawabnya dengan
: “Jangan nanti sakit”.
Memang,
dengan tekad baja, ketabahan yang luar biasa, dan daya tahan yang prima,
latihan – latihan yang diberikannya padanya dapat dijalankan dengan baik.
Itulah sebagian gambaran betapa berat latihan fisik dan mental yang harus
dijalaninya dalam menjadi murid Suhu Yap
Kie San.
Suhu
Yap sendiri, melihat adanya bakat – bakat yang terpendam yang dimiliki
Soebandiman, menjadi timbul rasa sayangnya dan berkenan menurunkan seluruh
ilmunya, sudah tentu dengan latihan yang makin berat dari yang menuntut
ketekunan total dan ini memakan waktu sampai 14 tahun.
Sebagai
murid Suhu Yap inilah paling lama Soebandiman berguru. Setelah menamatkan
seluruh pelajarannya, Soebandiman selanjutnya berkelana kesana – kemari dengan
berbagai pengalaman dan berbagai peristiwa yang makin menambah matang ilmu –
ilmunya, namun kiranya tidak pertlu dikisahkan lebih lanjut disini.
Setelah
merasa bahwa apa yang dipelajarinya telah cukup sebagai bekal untuk mewujudkan
cita – citanya, mulailah ia menyusun kembali segala teknik silat yang pernah
dipelajarinya.
Mendasari
pada pengalamannya sendiri yang sedemikian berat dan kerasnya dalam mempelajari
ilmu silat, dan menyadari bahwa dalam generasi berikutnya nanti amatlah tidak
mungkin menerapkan cara – cara belajar silat seperti apa yang pernah
dijalaninya, maka diciptakannya suatu teknik silat baru, yang merupakan
gabungan dari teknik – teknik yang pernah dipelajarinya, dengan dasar pemikiran
bagaimana belajar silat tanpa rasa sakit.
Dan
lahirlah teknik silat PERISAI DIRI,
dengan diri yang praktis, anatomis, sederhana namun sangat efektif serta
modern, sesuai dengan kebutuhan jaman. Hal tersebut dilakukannya setelah puas
malang – melintang di berbagai tempat serta peristiwa dan akhirnya kembali ke
Yogyakarta.
Oleh
Pak – De – nya (Uwaknya) yaitu Ki Hajar Dewantara, R.M.S Dirdjoatmodjo
diminta untuk mengajar silat di Taman Siswa. Namun ini tidak berlangsung lama
sehubungan dengan pekerjaannya dipabrik gula. Disana ia diangkat sebagai
magazijn meester.
Pada
sekitar thn1947 – 1948 beliau diangkat sebagai pegawai negeri pada departemen
P&K Seksi Silat. Sesuai misi diembannya, maka dibukalah kursus silat,
melalui dinas untuk umum. Selain itu pada masa tersebut beliau diminta untuk
memberi pelajaran di organisasi HPPSI serta Himpunan Siswa Budaya Yogjakarta.
Tahun
1954, R.M.S. Dirdjoatmodjo dipindah tugaskan ke Surabaya pada kantor Kebudayaan
Jatim urusan Pencak Silat sebagai warisan budaya bangsa. Di kota Surabaya
inilah akhirnya R.M.S Dirdjoatmodjo menetap dan kemudian mendirikan “Silat Nasional Perisai Diri”, yaitu
tepatnya pada tgl 2 Juli 1955, dengan dibantu oleh Sdr. Imam Ramelan. Pada
tahun 1970 beliau pensiun dan selanjutnya menjabat sebagai Penasehat IPSI Jatim
& Sesepuh PB IPSI di Jakarta.
Pencak
dalam bentuk olahraga yang dipertandingkan dalam PON seperti sekarang ini
adalah salah satu hasil dari perjuangan beliau.
Pendiri,
Guru, Pengasuh Keluarga Silat Nasional Indonesia
PERISAI DIRI ini telah berpulang pada dinihari tgl 9 Mei 1983 (pada usia 70
thn) di Surabaya, dengan meninggalkan warisan yang tak ternilai harganya yaitu
Silat serta organisasi PERISAI DIRI yang telah menjadi milik bangsa pula.
Semoga
melalui warisan yang ditinggalkannya ini, cita – cita beliau untuk
mengembangkan Silat Nasional Indonesia dapat terus diperjuangkan hingga
terwujud seperti apa yang diharapkannya. Amin.
Demikian
ringkasan sejarah dan riwayat pendiri serta pengasuh
“KELUARGA
SILAT NASIONAL PERISAI DIRI”
Salam Bunga Sepasang. Mohon maaf sedikit memberikan koreksi. Louw Djing Tie bukanlah nama julukan dari Yap Kie San, tetapi beliau berdua adalah orang yang berbeda. Louw Djing Tie adalah kakek gurunya Yap Kie San. Louw Djing Tie yang dikenal dengan julukan Garuda Emas dari Siauw Liem Pay adalah gurunya Hoo Tik Tjay alias Bah Suthur, sedangkan Bah Suthur adalah gurunya Yap Kie San. Demikian informasinya. Salam hormat.
BalasHapus